SELAMAT BERKUNJUNG,BERGABUNG MENJALIN IKATAN KEMITRAAN

Jalinan Kemitraan digalang oleh rasa simpati yang menggerakkan diri tuk berbuat "satu" namun memberi "seribu satu" makna,bagi eksistensi organisasi dan menciptakan karsa bagi mereka [Tunanetra]menghilangkan sikap stereotype,diskriminatif dan antipati sehingga mereka dapat eksis dalam kehidupan menuju penyetaraan [Berbuat Untuk Tunanetra,Berbuat Untuk Semua] Bagi sahabat yang ingin berbagi dan mendukung Program Kami,Kampanyekan Blog ini dengan mengcopy Banner Komunitas Peduli Tunanetra.Klik Disini
Buat Para Sahabat Pengunjung ,Blogger,Anggota KAPTEN MITRA,dan Anggota BAMPER XII,kami tunggu masukan dan sarannya yah, demi membangun organisasi kami dan terkhusus kepada para penyandang cacat khususnya Tunanetra.
Kami merekomendasikan Anda untuk mempergunakan Mozilla FireFox Web Development & Hosting

Sabtu, Mei 01, 2010

NILAI RELIGI DALAM PUISI

Oleh: Muhammad Nursam

Ada sajadah panjang terbentang; Dari kaki pualam; Sampai ke tepi kuburan hamba; Kuburan hamba bila mati./ Ada sajadah panjang terbentang; Hamba duduk dan sujud; Di atas sajadah yang panjang ini./ Diselingi sekedar interupsi; Mencari rezeki, mencari ilmu; Mengukur jalan seharian. Begitu terdengar suara azan; Kembali tersungkur hamba./ Ada sajadah panjang terbentang; Hamba duduk dan rukuk; Hamba sujud tak lepas kening hamba; Mengingat Dikau; Sepenuhnya.
Setelah syair ini saya bacakan pada sebuah training kepenulisan, saya bertanya pada peserta “Syair siapa yang saya bacakan tadi?”. Nyaris semua peserta menjawab “Syair lagunya BIMBO Ka’.” Nyaris saya kecewa berat. Syukurlah, salah seorang peserta menjawab ”Puisinya Taufik Ismail Kak.”
Saya sadar, musik sangat hebat menjadi partner sebuah puisi. Kita pun mengenalnya dengan istilah “Musikalisasi Puisi”. Berhubung telah banyak pembahasan tentang hubungan puisi dengan musik, lebih baik saya tak lagi membahasnya.
Kembali ke puisi tadi. Puisi tersebut berjudul ”SAJADAH PANJANG” ditulis Taufik Ismail pada tahun 1984 (dari antologi ”Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”). Syair tersebut memberi kesan pada kita bahwa sujud dan beribadah itulah yang terpenting dalam hidup. Mencari rezeki dan mencari ilmu hanyalah sekedar interupsi. Karena itu ’Begitu terdengar suara azan/ Kembali tersungkur hamba. Dalam sujud kening lekat dengan sajadah. Sepanjang itu pulalah’ Mengingat Dikau/ Sepenuhnya.
Mari membaca pula puisi J.E. Tatengkeng yang berdendang memuja, memuliakan Tuhan Yang Maha Kuasa:
Sedang kududuk di ruang bilik,; Bermain kembang di ujung jari,; Yang tadi pagi telah kupetik,; Akan teman sepanjang hari,/ Kudengar amat perlahan,; Mendengung di ombak udara,; Menerusi daun dan dahan; Bunyi lonceng diatas menara/ Katanya:; Kupanggil yang hidup,; Kutangisi yang mati,; Pinta jiwa jangan ditutup,; Luaskan aku masuk ke hati./ -Masuk, ya, Tuhan; dalam hatiku-
Puisi ini ditulis J.E. Tatengkeng sekitar tahun 1960-an dengan judul PANGGILAN PAGI MINGGU (Jassin, 1963: 316). Puisi ini memberi kesan bahwa hari yang paling dinantikan penganut kristiani adalah hari minggu. Alangkah syahdunya suasana pagi minggu bagi pemeluk kristiani yang taat. Si aku lirik pun berharap –Masuk, ya, Tuhan; dalam hatiku-.
Kedua puisi yang telah kita baca tadi, memberi informasi penting pada kita. Betapa indahnya sebuah ketulusan menjalankan syariat agama. Betapa seorang penyair menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang mereka anut. Hingga, kita pun terbawa arus keindahan dari puisi-puisi yang mereka lahirkan. Taufik Ismail mewakili suasana hati pemeluk muslim teguh, sedangkan J.E. Tatengkeng mewakili suasana hati pemeluk nasrani sejati.
Selanjutnya, mari kita nikmati lagi dua buah puisi yang ditulis Chairil Anwar:


ISA
(kepada nasrani sejati)

Itu tubuh; mengucur darah; mengucur darah./ rubuh; patah./ mendampar tanya: aku salah?/ kulihat Tubuh mengucur darah; aku berkaca dalam darah./ terbayang terang di mata masa; bertukar rupa ini segera./ mengatup luka./ aku bersuka./ Itu tubuh; mengucur darah; mengucur darah.

DOA
(kepada pemeluk teguh)

Tuhanku; Dalam termangu; Aku masih menyebut namaMU./ Biar susah sungguh; mengigat Kau penuh seluruh./ cayaMu panas suci; tinggal kerdip lilin di kelam sunyi./ Tuhanku./ aku hilang bentuk; remuk./ Tuhanku./ aku mengembara di negeri asing./ Tuhanku; di pintuMu aku mengetuk; aku tidak bisa berpaling.

Puisi ISA ditulis Chairil pada tanggal 12 November 1943, sedangkan puisi DOA ditulis sehari setelahnya. Tepatnya pada tanggal 13 November 1943. Sampai sekarang saya tidak habis pikir, bisa-bisanya seorang Chairil menulis dua buah puisi yang bertema religi dengan keyakinan yang berbeda dan dalam interval waktu hanya sehari. Suatu perenungan dan imajinasi yang luar biasa.
Sepertinya saya perlu memberi sedikit penjelasan tentang puisi ISA. Chairil Anwar yang seorang muslim tidak bermaksud membenarkan atau meragukan suatu keyakinan. Namun, apa yang beliau tulis adalah murni hasil imajinasi. Dalam sastra kita bebas berimajinasi sebagai apa saja. Kita bebas berimajinasi sebagai tanah, air, angin, gunung, batu dan apa pun yang kita inginkan. Dan sudah tentu tak ada salahnya kita berimajinasi sebagai pemeluk keyakinan lain. Selama hal itu masih murni dalam ranah imajinasi sastra (Sastra Fiksi).
Kedua puisi Chairil tadi menyiratkan kesan pada kita bahwa seorang penyair sangat menghormati perbedaan keyakinan. Lewat puisinya, Chairil Anwar (26 Juli 1922 – 28 April 1949) turut memberi sumbangsih akan pentingnya toleransi antar umat beragama. Sayangnya beliau wafat pada usia muda.
Lalu muncul pertanyaan dalam benak kita (mungkin buat penulis juga) “Akankah lahir dari tangan penyair-penyair muda, sebuah puisi yang menggambarkan indahnya saling menghargai antar pemeluk agama?”. Sebab, bukanlah hal baru jika puisi dianggap sebagai salah satu media pemersatu bangsa. Pun, akankah band-band muda tanah air berinisiatif memperkenalkan puisi bertema religi lewat kepiawaian musik mereka? Tentu dengan seizin sang penyair, seperti yang pernah dilakukan BIMBO. Semoga, jawabannya “ya!”. Kita tunggu.#
*Penulis adalah alumni Sastra Inggris UNM. Email: muhammadnursam@ymail.com Selanjutnya......

Kata Mereka

Ketua DPD PERTUNI SULSEL Hamzah M.Yamin
Dengan adanya website ini, memberikan warna tersendiri mengenai penyandang cacat, terkhusus tunanetra, media website menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang sangat bagus dengan jangkauan internasional,sehingga upaya mempublikasikan sahabat tunanetra dapat terjangkau secara menyeluruh. Aksi yang dilakukan BAMPER XII sebagai organisasi volunter / mitra PERTUNI sangat membantu kinerja DPD PERTUNI SULSEL dan penyandang tunanetra khususnya, teruslah memberikan satu kebaikan kepada mereka yang membutuhkan