Kompas/johnny tg
Kalau dulu waktu kecil aku tak dapat berbicara/Aku dikatakan bisu dan tuli atau anak bisu/Meskipun aku sendiri tidak tahu.Sekarang aku duduk di kelas tujuh/Nama panggilanku Titin/Sekarang aku dapat berbicara apa saja/Aku dapat bercandaria, bertegur sapa dengan siapa saja.Aku bisa merasakan dengan bahasa/Apa artinya aku sedang sedih dan duka/Apa artinya aku sedang berbinar-binar karena bahagia/Apa artinya merasa bangga, kalau saat aku duduk dipuja-puja.
Sebuah puisi sederhana berjudul Aku Yang Dulu dan Aku Yang Sekarang karya Bruder Anton FIC yang dibawakan oleh seorang gadis cilik tuna rungu bernama Titin itu, mampu menghadirkan keharuan mendalam di antara para peserta diskusi Penguatan HAM bagi Para Difabel di Jakarta awal pekan ini. Ungkapan perasaan hati Titin ini begitu mengharukan, sekaligus membanggakan-begitu reaksi spontan para peserta diskusi yang 99,9 persen di antaranya terdiri dari orang-orang cacat fisik alias the differently-abled people atau people with different abilities (kaum penyandang ca-cat atau difabel)-ketika di usianya yang hampir genap 12 tahun ini Titin berhasil mengatasi persoalan-persoalan eksistensialnya, yakni ketulian telinganya hingga tak bisa mendengarkan suara secara sempurna.
Kompas/eddy hasby
Ketulian Titin itu ada sejak lahir. Selama beberapa tahun lamanya, begitu Titin mengisah-kan hidupnya, dia tidak bisa mendengar, apalagi berbicara layaknya orang-orang normal.
"Dulu, saya memang tuli dan kini pun saya masih tetap tuli. Tetapi, sekarang ini saya mampu membaca, menulis, bahkan tahu apa yang diomongkan orang lain saat berbicara dengan saya. Itu karena saya bisa membaca gerak bibir orang," ungkap murid kelas tujuh Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Pangudi Luhur Jakarta ini dengan lugunya.
Kepada siapa Titin harus berterima kasih hingga kini ia bisa berbicara, membaca, me-nulis, dan menangkap omongan orang? "Kepada guru-guru SDLB Pangudi Luhur, tempat saya belajar semua kemampuan dasar. Juga kepada para dermawan dan donatur yang telah membelikan alat bantu dengar kepada orang-orang seperti saya ini," kata Titin.
Kisah Titin di atas adalah satu gambaran paling jelas tentang bagaimana seorang difabel ber-hasil "mengatasi" hambatan-hambatan cacat fisiknya hingga bisa berlaku layaknya orang normal. Adalah peran besar SDLB Pangudi Luhur Jakarta, yang menurut Titin telah memberi kepadanya segala fasilitas belajar dan peluang-bisa latihan berbicara dan membaca gerak bibir orang hingga akhirnya orang seperti dia bisa "menjadi normal kembali".
Begitu pula inti kisah pengalaman Dimyati Hakim yang mengaku belajar untuk bisa menjadi "manusia normal kembali" di Yayasan Pendidikan Luar Biasa Bisu-Tuli "Don Bosco" Wonosobo, Jawa Tengah, beberapa tahun lalu. "Saya bisa menjadi begini ini (berbicara dan tahu omongan orang-Red), karena diberi fasilitas atau tepatnya aksesibilitas untuk menempuh sistem belajar yang cocok dan sesuai dengan kondisi fisik saya," ungkap Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Pusat di forum experience sharing (berbagi pengalaman) antarpara difabel peserta diskusi itu.
***
HAK aksesibilitas atau bisa mendapatkan peluang dan fasilitas seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya hingga mobilitas fisik kaum penyandang cacat itu juga bisa terbuka lebar. Hak untuk mendapatkan kebebasan bergerak secara fisik inilah yang sebenarnya secara prinsipiil dikehendaki kaum difabel-di mana pun di seluruh dunia- agar dihormati, ditegakkan, dijamin, dan diperjuangkan oleh negara, pemerintah, dan masyarakat umum.
Kalaupun terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap kaum difabel ini, maka yang paling sering terjadi adalah tiadanya hak aksesibilitas bagi kaum penyandang cacat fisik tersebut. Ini boleh jadi karena masyarakat kurang menyadari pentingnya hak ini bagi kaum difabel.
Namun, juga bisa terjadi-dan inilah keluhan yang paling bergaung selama berlangsung seminar Penguatan HAM bagi Kaum Difabel pekan lalu-karena negara, pemerintah, dan masyarakat sendiri seringkali memandang kaum difabel ini dengan sebelah mata alias mendapat perlakuan diskriminatif dalam pergaulan sosial setiap hari.
Orang buta, misalnya, demi-kian kata seorang difabel bernama Gde Jaya Usada, jelas tidak akan mampu membaca tulisan atau memperoleh informasi lengkap, layaknya orang normal yang bisa membaca huruf-huruf Latin atau lainnya. Namun, kata aktivis Pro-Employment In-donesia yang sehari-hari duduk di kursi roda ini, itu tidak berarti orang buta itu tidak bisa membaca dan mengolah informasi sesuai kebutuhannya.
"Mereka jelas bisa, hanya saja sarana atau fasilitas fisik untuk itu yang nyatanya tidak ada atau pernah ada. Kalau saja di tempat-tempat umum dipasang pengumuman berhuruf braille, pastilah orang buta itu juga akan mampu membaca tulisan dan mengolah informasi di da-lamnya, sesuai kebutuhannya," sambung Usada yang beberapa tahun silam rela mengakhiri mobilitas fisiknya di atas sebuah kursi roda, setelah tulang punggungnya mengalami cidera pa-rah akibat kecelakan lalu lintas.
Menurut Usada, sudah barang tentu mobilitas fisik kaum difabel yang kaki atau tangannya mengalami kecacatan juga akan terhambat.
"Kursi roda memang bisa membantu ruang gerak yang lebih bebas bagi kaum difabel. Namun, tersedianya kursi roda itu jelas belum memadai bila ternyata ruang-ruang publik tidak menyediakan aksesibilitas langsung bagi para pengguna kursi roda itu untuk bisa menjangkau area lokasi tertentu yang ingin dicapainya," begitu argumentasi Usada tentang betapa pentingnya menegakkan hak aksesibilitas bagi kaum difabel.
***
MEMBERIKAN hak aksesibilitas bagi kaum difabel secara sederhana bolehlah diartikan dengan segala upaya, untuk segera mungkin menyingkirkan semua hambatan-hambatan fisik (physical barriers) yang mengurangi mobilitas fisik kaum difabel. Kesadaran akan hal ini juga ditegaskan Duta Besar Selandia Baru HE Michael Green ketika tampil membuka seminar Penguatan HAM untuk Kaum Difabel tersebut.
Membersihkan dan menyingkirkan semua hambatan fisik atau secara positif berarti menyediakan fasilitas-fasilitas yang feasible bagi kaum difabel itulah inti persoalannya, ketika seminar ini ingin mencari dasar-dasar penguatan HAM bagi kaum difabel.
Ini secara konkret berarti, demikian argumentasi Otje Soe-djoto SH saat menjadi pembicara seminar itu, mulai sekarang harus dikampanyekan kesadar-an umum bahwa kaum difabel itu dalam arti tertentu memang tidak mampu melakukan kegiatan-kegiatan layaknya manusia normal.
"Kaum difabel itu dalam keterbatasannya ya mampu melakukan tindakan-tindakan tertentu yang pasti saja berbeda dibanding orang normal. Seseorang menjadi cacat netra bukan merupakan kehendak orang itu, melainkan akibat kecelakaan hingga dia tidak bisa membaca lagi. Namun, itu tidak berarti tidak ada solusinya. Itu adalah huruf braille atau text-reader. Akses untuk mendapatkan huruf braille atau text-reader itulah yang perlu diadakan hingga yang tuna netra itu bisa membaca lagi. Inilah yang kurang disadari oleh masyarakat kita, termasuk pemerintah dan negara," ungkapnya di luar seminar.
Begitu pula, tambah Otje, tuna daksa alias mereka yang terpaksa duduk di atas kursi roda untuk membantu mobilitas fisiknya, mereka jelas tidak akan bisa memasuki gedung bertingkat, bukan karena mereka itu tidak bisa berdiri atau berjalan, melainkan karena gedung itu tidak menyediakan fasilitas akses seperti ramp, lift, atau sarana lainnya khusus bagi para tuna daksa itu.
Bagi kaum difabel, harapan bisa memperoleh hak aksesibilitas itu sebenarnya tak lain keinginan agar negara, pemerintah, dan masyarakat memberikan kebebasan dan peluang sebesar-besarnya bagi penyandang cacat itu untuk bisa bergerak seluas-luasnya.
Dijaminnya the right of movement oleh negara, pemerintah, dan masyarakat umum itulah yang sebenarnya "jiwa" sebuah tuntutan umum agar hak mendapatkan aksesibilitas seluas-luasnya bagi kaum difabel dihormati.
"Ini tak bisa ditawar-tawar lagi," tandas Gde Jaua Usada mengomentari rekomendasi Komite Advokasi Penyandang Cacat Indonesia (KAPCI), yang intinya meminta agar pemerintah segera membentuk Komisi Nasional untuk Perjuangkan HAM Kaum Difabel. (Mathias Hariyadi)
SELAMAT BERKUNJUNG,BERGABUNG MENJALIN IKATAN KEMITRAAN
Jalinan Kemitraan digalang oleh rasa simpati yang menggerakkan diri tuk berbuat "satu" namun memberi "seribu satu" makna,bagi eksistensi organisasi dan menciptakan karsa bagi mereka [Tunanetra]menghilangkan sikap stereotype,diskriminatif dan antipati sehingga mereka dapat eksis dalam kehidupan menuju penyetaraan [Berbuat Untuk Tunanetra,Berbuat Untuk Semua] Bagi sahabat yang ingin berbagi dan mendukung Program Kami,Kampanyekan Blog ini dengan mengcopy Banner Komunitas Peduli Tunanetra.Klik DisiniBuat Para Sahabat Pengunjung ,Blogger,Anggota KAPTEN MITRA,dan Anggota BAMPER XII,kami tunggu masukan dan sarannya yah, demi membangun organisasi kami dan terkhusus kepada para penyandang cacat khususnya Tunanetra.
Kami merekomendasikan Anda untuk mempergunakan Mozilla FireFox Web Development & Hosting
Sabtu, Oktober 04, 2008
Hak Aksesibilitas Penyandang Cacat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kata Mereka
Ketua DPD PERTUNI SULSEL
Hamzah M.Yamin
Dengan adanya website ini, memberikan warna tersendiri mengenai penyandang cacat, terkhusus tunanetra, media website menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang sangat bagus dengan jangkauan internasional,sehingga upaya mempublikasikan sahabat tunanetra dapat terjangkau secara menyeluruh. Aksi yang dilakukan BAMPER XII sebagai organisasi volunter / mitra PERTUNI sangat membantu kinerja DPD PERTUNI SULSEL dan penyandang tunanetra khususnya, teruslah memberikan satu kebaikan kepada mereka yang membutuhkan |