Adalah pernyataan Presiden Abdurrachman Wahid bahwa di Bali dan Yogyakarta, tidak ada fasilitas untuk kepentingan penderita cacat di bandar udaranya. Padahal banyak turis mancanegara yang datang ke dua kota tersebut, tak terkecuali orang-orang cacat. Di negeri masing-masing mereka dihormati begitu rupa, tapi sampai di Indonesia dianggap menjadi beban.
Bukan rahasia umum lagi, penyandang cacat dianggap sebagai beban masyarakat, hingga tidak diperhatikan. Jarang kita mengingat bahwa kaum penyandang cacat, walau tak lengkap pancainderanya, juga dapat memberikan sumbangan bagi bangsa dan negara. Dan, lanjut Gus Dur, kadang-kadang kita lupa, dan di antara tanda kelupaan itu adalah hampir-hampir tak ada fasilitas untuk penyandang cacat di berbagai tempat umum.
Maka, saat inilah awal digemakannya Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) 2000. "Ini permulaan dari kita untuk memberikan perhatian dan sikap yang layak kepada para penderita cacat," kata Gus Dur, pada Pencanangan GAUN 2000, 4 Juni lalu di stasiun Gambir, Jakarta. Stasiun Gambir yang sudah dilengkapi berbagai fasilitas dan kemudahan bagi penyandang cacat menjadi pilot proyek bagi pencanangan GAUN 2000 itu.
Kata Gus Dur, "Karena ngurusin gambir yang dipakai makan sirih itu, bisa dipakai semua orang, termasuk orang cacat."
"GAUN 2000 merupakan suatu gerakan untuk memberikan akses bagi penderita cacat, hingga memungkinkan mereka memperoleh hak yang sama," kata Agum Gumelar, Menteri Perhubungan yang menjadi Ketua Panitia Pelaksana GAUN 2000.
Selama ini, katanya, penyandang cacat yang berjumlah sekitar 10,5 juta jiwa itu dihadapkan pada hambatan arsitektur yang menyebabkan mobilitas keseharian mereka terbatas. Di sisi lain, adanya hambatan sosial dan budaya yang menumbuhkan ketidakadilan dan ketidakpuasan di kalangan mereka. "GAUN 2000 diharapkan mampu menggugah kesadaran, kepedulian dan kepekaan, serta solidaritas sosial masyarakat terhadap permasalahan yang dihadapi penyandang cacat dan penyandang masalah-masalah sosial lainnya."
Akses di bandara
Bagaimana sebenarnya gambaran aksesibilitas di bandara-bandara di Indonesia? Sebagian besar memang belum ada fasilitas memadai untuk penyandang cacat itu. Sebut saja yang dimaksud Gus Dur, Bali dan Yogya. Bandara Ngurah Rai di Bali sebenarnya sudah memiliki sedikitnya toilet khusus bagi penyandang cacat. Tapi akses lain yang memudahkan mereka, belumlah ada. Demikian pula di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, yang bandaranya lebih kecil.
PT Angkasa Pura (AP) I yang mengelola kedua bandara tersebut, menyebut alasannya adalah soal dana. Tapi, kata staf humasnya, seluruh petugas di lapangan sudah diberi pengarahan untuk memberikan kemudahan bagi penyandang cacat di bandara. Rupanya, kesadaran orang per orang petugas bandara itu yang masih perlu ditingkatkan. Karena ternyata, 'keramahan' petugas bandara terkadang malah membuat penyandang cacat jadi rendah diri.
Sebagai contoh, seorang penyandang cacat berkursi roda yang akan naik tangga berjalan, hanya diberi senyum petugas, sambil mengatakan, "Silakan Pak!" Padahal keinginan mereka adalah kemudahan dengan bantuan serta merta tanpa si cacat 'minder'.
Namun kemudahan bagi penyandang cacat pada moda transportasi udara di Indonesia masih lebih baik, dibanding yang lain. Sedikitnya, airline dan agen groundhandling sudah lebih dulu memiliki persiapan, karena standar internasional menetapkannya. Pelayanan khusus bagi penyandang cacat sudah diterapkan, walau masih dibutuhkan fasilitas lain dengan memanfaatkan teknologi.
Bandara Soekarno-Hatta merupakan salah satu unit pelayanan transportasi yang telah menyiapkan fasilitas yang aksesibel bagi penyandang cacat, dilengkapi logo standar internasional. Fasilitas itu antara lain, toilet, lift, lokasi parkir, jalur kursi roda dan penyiapan kursi roda oleh airline dan agen groundhandling. Selain itu ada fasilitas lain yang masih diusulkan, yakni telepon dan loket khusus bagi penyandang cacat.
Kaum penyandang cacat tidaklah butuh kekhususan atau keistimewaan yang malah membuat mereka berkecil hati. Seperti diungkapkan Wakil Ketua Panitia GAUN 2000 Koesbiono Sarmanhadi yang cacat kaki, "Kami memang ingin ada toilet atau lift yang memberi kemudahan. Tapi bukan berarti fasilitas tersebut sama sekali tidak dapat digunakan oleh yang lain. Akses itu tetap dapat digunakan semua orang, walau kami yang jadi prioritas."
Persoalan penyandang cacat tergantung sikap masyarakat, yang bermuara pada pendidikan dan kesadaran. Setidaknya dengan GAUN 2000, masyarakat akan mulai menghargai mereka. (nie/don)
SELAMAT BERKUNJUNG,BERGABUNG MENJALIN IKATAN KEMITRAAN
Jalinan Kemitraan digalang oleh rasa simpati yang menggerakkan diri tuk berbuat "satu" namun memberi "seribu satu" makna,bagi eksistensi organisasi dan menciptakan karsa bagi mereka [Tunanetra]menghilangkan sikap stereotype,diskriminatif dan antipati sehingga mereka dapat eksis dalam kehidupan menuju penyetaraan [Berbuat Untuk Tunanetra,Berbuat Untuk Semua] Bagi sahabat yang ingin berbagi dan mendukung Program Kami,Kampanyekan Blog ini dengan mengcopy Banner Komunitas Peduli Tunanetra.Klik DisiniBuat Para Sahabat Pengunjung ,Blogger,Anggota KAPTEN MITRA,dan Anggota BAMPER XII,kami tunggu masukan dan sarannya yah, demi membangun organisasi kami dan terkhusus kepada para penyandang cacat khususnya Tunanetra.
Kami merekomendasikan Anda untuk mempergunakan Mozilla FireFox Web Development & Hosting
Senin, Juni 02, 2008
Minimnya Fasilitas Untuk yang Cacat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kata Mereka
Ketua DPD PERTUNI SULSEL
Hamzah M.Yamin
Dengan adanya website ini, memberikan warna tersendiri mengenai penyandang cacat, terkhusus tunanetra, media website menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang sangat bagus dengan jangkauan internasional,sehingga upaya mempublikasikan sahabat tunanetra dapat terjangkau secara menyeluruh. Aksi yang dilakukan BAMPER XII sebagai organisasi volunter / mitra PERTUNI sangat membantu kinerja DPD PERTUNI SULSEL dan penyandang tunanetra khususnya, teruslah memberikan satu kebaikan kepada mereka yang membutuhkan |