SELAMAT BERKUNJUNG,BERGABUNG MENJALIN IKATAN KEMITRAAN

Jalinan Kemitraan digalang oleh rasa simpati yang menggerakkan diri tuk berbuat "satu" namun memberi "seribu satu" makna,bagi eksistensi organisasi dan menciptakan karsa bagi mereka [Tunanetra]menghilangkan sikap stereotype,diskriminatif dan antipati sehingga mereka dapat eksis dalam kehidupan menuju penyetaraan [Berbuat Untuk Tunanetra,Berbuat Untuk Semua] Bagi sahabat yang ingin berbagi dan mendukung Program Kami,Kampanyekan Blog ini dengan mengcopy Banner Komunitas Peduli Tunanetra.Klik Disini
Buat Para Sahabat Pengunjung ,Blogger,Anggota KAPTEN MITRA,dan Anggota BAMPER XII,kami tunggu masukan dan sarannya yah, demi membangun organisasi kami dan terkhusus kepada para penyandang cacat khususnya Tunanetra.
Kami merekomendasikan Anda untuk mempergunakan Mozilla FireFox Web Development & Hosting

Rabu, September 24, 2008

Potensi Tunanetra

Penampilannya begitu sederhana dengan pembawaan yang ramah. Begitulah Saharuddin Daming, satu dari 11 orang anggota terpilih Komnas HAM periode 2007-2012. Kehadirannya di antara komisioner lainnya menjadi istimewa karena Saharuddin adalah tunanetra –kelompok yang selama ini sering terdiskriminasi.

”Penyandang cacat selama ini adalah kelompok yang paling banyak mengalami perlakuan diskriminasi dan termarginalkan. Mereka sering dibatasi, dipersulit, bahkan dihilangkan haknya,” ujar Saharuddin mengenai alasannya mengikuti seleksi komisioner Komnas HAM.

Ada lebih dari 300 calon komisioner yang diseleksi. Maka, pria 42 tahun kelahiran Pare-Pare ini menganggap terpilihnya dirinya sebagai suatu hal yang tak terduga. Bahkan dengan merendah, Saharuddin mengelompokkan diri dalam kelompok ‘Paria’ di antara kelompok ‘Brahmana’ dan ‘Ksatria’ yangmengikuti seleksi komisioner Komnas HAM.

Kelompok ‘Brahmana’ yang ia maksud adalah para purnawirawan jenderal TNI dan Polri yang masih memiliki kekuasaan, memiliki uang, dan pengaruh. Kelompok ‘Ksatria’ adalah kelompok yang memiliki uang, tapi tidak punya pengaruh. Sedangkan kelompok ‘Paria’ adalah yang tak punya uang, tak punya pengaruh, dan hanya mengandalkan rasa percaya diri.

Kini, setelah masuk dalam deretan anggota komisiner, bungsu dari lima bersaudara ini sudah siap dengan agendanya. Dua yang paling diprioritaskan adalah memperjuangkan rativikasi konvensi international tentang hak penyandang cacat, yakni Resolusi PBB Nomor 61/106 Tahun 2006, sehingga bisa diberlakukan di Indonesia. Dan, memperjuangkan perubahan undang-undang yang secara substansial berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM bagi penyandang cacat.

Penerimaan calon pegawai negeri sipil yang masih menggunakan klausul sehat jasmani sebagai salah satu persyaratan, ia sebut sebagai peraturan yang diskriminatif. ”Anehnya, beberapa kalangan medis atau dokter berpendapat cacat itu bagian dari tidak sehat jasmani,” ujar mantan ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulawesi Selatan (1994-2004) itu.

Advokat dengan klien rata-rata penyandang cacat ini sering menemukan fakta penyandang cacat tidak diberi hak mendapat surat keterangan berbadan sehat dari beberapa dokter. Karena itu, ayah dari Fadhilah Istiqamah (8 tahun) dan Mufidatul Husna (6 tahun) ini, berjanji akan memperjuangkan revisi semua peraturan yang mendiskreditkan penyandang cacat. Suami dari Yayi Zaitun Asdy (37 tahun) ini bahkan menilai UU Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat justru merupakan bagian dari masalah kemajuan tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya.

Sejak 2005 kandidat doktor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) ini berinisiatif menyusun draf perubahan UU tersebut seorang diri. ”Saya berharap agar draf undang-undang tersebut kelak diterima dan disahkan oleh penguasa sebagai legal standing bagi pemenuhan hak tunanetra dan penyandang cacat dalam arti yang sebenar-benarnya,” ujar Saharuddin.

Pembela hak
Saharuddin mengalami gangguan penglihatan sejak usia 10 tahun. Penyebabnya adalah mata kanannya kemasukan debu dari atap rumahnya yang ketika itu sedang dibenahi. Dengan kondisi satu mata yang rabun, ia tetap getol membaca buku meski dengan penerangan seadanya. Tak sampai setahun, mata kirinya ikut bermasalah. Ia sempat dioperasi, namun gagal. Dokter menyatakan sistem syaraf otak ke retina matanya lumpuh.

Kehidupan Saharuddin pun hanya diwarnai kepekatan. Ia menjalani pendidikan di SLB A Yapti, Makassar. Selepas SLB, ia melanjutkan ke SMA Muhammadiyah. Namun, tak puas dengan sistem di sekolah itu, ia pindah ke SMA Datuk Ribandang, Makassar. Kehadirannya di sekolah umum awalnya disambut sinis, heran, dan bingung oleh kalangan siswa maupun gurunya. Namun, dengan kekurangannya Saharuddin justru meraih peringkat pertama hingga ia tamat pada 1988.

Berbagai kisah menyentuh terus menemani langkahnya. Saat akan mendaftarkan diri ke Unhas, ia satu-satunya tunanetra yang ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru) Unhas. Anehnya, ketika pengumuman dirinya dinyatakan lulus, kelulusannya justru dicurigai. Sejumlah petinggi Unhas sempat berupaya menginvenstigasi kelulusan Saharuddin, apalagi dalam manifes calon mahasiswa tidak dilaporkan adanya peserta tunanetra.

Beruntung, ganjalan masuk ke Unhas berhasil dilewatinya dengan mulus. Ia kemudian menjalani masa-masa perkuliahan layaknya orang normal. Saharuddin tak pernah menggunakan peralatan dengan huruf Braille. Semua aktivitas perkuliahan dilakukannya dengan memakai alat perekam. Ia berhasil lulus pada 1994 dengan IPK 3,62.

Saharuddin bukanlah orang yang lemah dan gampang mengalah. Justru pada saat tertentu, sosoknya tampil sangar. Ini diperlihatkannya saat memimpin aksi-aksi demontrasi membela hak dan menyuarakan kepentingan penyandang cacat.

Pada 1998, misalnya, dengan berani Saharuddin dan kawan-kawan tampil membela hak pelajar SMU yang ditolak karena mereka tunanetra. Saharuddin menemui kepala Kandepdikbud Sulsel dan menyatakan bahwa diskriminasi dan ketidakadilan pendidikan terhadap tunanetra harus dihapuskan. Perjuangan Saharuddin berhasil. Mulai saat itu, seluruh SMU di Makassar terbuka bagi tunanetra, sepanjang memenuhi persyaratan administrasi.

Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, Saharuddin dan kawan-kawan beraksi di kantor KPUD Sulsel. Saharuddin memperjuangkan hak suara bagi para penyandang cacat. Mereka memperjuangkan penggunaan template dalam pelaksanaan pemilu agar para penyandang cacat tidak kehilangan hak politik mereka untuk memilih secara langsung.

Penggemar musik gambus ini mengaku telah siap dengan kemungkinan munculnya sikap sinis terhadap kiprahnya kelak, seperti yang telah ia alami sejak usia 12 tahun. Saharuddin sangat menyadari kekurangan fisiknya. Tapi, bagi dia, sikap sinis merupakan cerminan masyarakat yang tak paham bahwa di balik kegulitaan seorang tunanetra, terdapat potensi yang lebih terang dan kuat daripada yang diperkirakan orang banyak.

Sumber : www.republika.co.id

Postingan Terkait Lainnya :


Widget by BAMPERXII.Co.cc
Anonim mengatakan...

oke dah tinggalkan komentar dulu itupun selalu saya usahakan
tapi belum baca udah disuruh tinggalkan comment aneh maksa ya mas.
tapi g papa tetap semangat seperti diriku.
bahasan mengenai postingan, kok semua tentang tuna netra mas
byme salam kenal

Anonim mengatakan...

2 byme:
namanya juga organisasi mitra tunanetra,tentu semua mengenai tunanetra dan kegiatan mitranya

Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.

Kata Mereka

Ketua DPD PERTUNI SULSEL Hamzah M.Yamin
Dengan adanya website ini, memberikan warna tersendiri mengenai penyandang cacat, terkhusus tunanetra, media website menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang sangat bagus dengan jangkauan internasional,sehingga upaya mempublikasikan sahabat tunanetra dapat terjangkau secara menyeluruh. Aksi yang dilakukan BAMPER XII sebagai organisasi volunter / mitra PERTUNI sangat membantu kinerja DPD PERTUNI SULSEL dan penyandang tunanetra khususnya, teruslah memberikan satu kebaikan kepada mereka yang membutuhkan