SELAMAT BERKUNJUNG,BERGABUNG MENJALIN IKATAN KEMITRAAN

Jalinan Kemitraan digalang oleh rasa simpati yang menggerakkan diri tuk berbuat "satu" namun memberi "seribu satu" makna,bagi eksistensi organisasi dan menciptakan karsa bagi mereka [Tunanetra]menghilangkan sikap stereotype,diskriminatif dan antipati sehingga mereka dapat eksis dalam kehidupan menuju penyetaraan [Berbuat Untuk Tunanetra,Berbuat Untuk Semua] Bagi sahabat yang ingin berbagi dan mendukung Program Kami,Kampanyekan Blog ini dengan mengcopy Banner Komunitas Peduli Tunanetra.Klik Disini
Buat Para Sahabat Pengunjung ,Blogger,Anggota KAPTEN MITRA,dan Anggota BAMPER XII,kami tunggu masukan dan sarannya yah, demi membangun organisasi kami dan terkhusus kepada para penyandang cacat khususnya Tunanetra.
Kami merekomendasikan Anda untuk mempergunakan Mozilla FireFox Web Development & Hosting

Minggu, Januari 04, 2009

DAENG PALESANG

Nama aslinya Abdullah, entah kenapa orang tuanya memberi gelar “Daeng Palesang”. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berarti tukang pemindah atau tukang pindah-pindah atau orang yang senang memindahkan sesuatu dan atau berpindah-pindah. Mungkin, semasa kecil dia suka memindahkan perabot rumahnya, atau dia sering berpindah tempat saat makan, atau mungkin juga gelar itu warisan dari almarhum ayahnya yang juga bergelar “Daeng Paramisi” yang berarti tukang permisi atau orang yang senang minta izin. Ah, entahlah, yang jelas kata orang tua-tua di kampungku, senyum Abdullah sangat mirip dengan senyum ayahnya, walaupun warna kulit Abdullah lebih cerah dibanding kulit ayahnya yang hitam pekat. Itu masih kata orang tua-tua.
Sebenarnya saya belum tahu bagaimana ciri-ciri ayah Abdullah. Kata ibuku saat beliau meninggal kami masih balita. Kebetulan tahun kelahiranku sama dengan Abdullah. Kembali ke pendapat orang tua-tua, mereka semua setuju bahwa Abdullah yang paling mirip dengan ayahnya ketimbang saudaranya yang lain. Suatu waktu saya bertanya pada ibu.
“ma, apa mama ingat ciri-ciri ayah Dul?”
“maksudmu Daeng Paramisi ayahnya Palesang?”
“ya iyalah ma, siapa lagi yang saya panggil Dul selain dia.”
“ooh, Daeng Paramisi itu orangnya baik, sopan, dihormati dan disegani banyak orang terutama penduduk di kampung ini. Kalau tentang rupanya, kulitnya gelap, agak pendek tapi tidak cebol, rambutnya lurus. Ya cuma itu yang mama ingat.”
Aku tersenyum dan sedikit tertawa.
“Lho, kenapa, ada yang lucu?” Ibu menatapku. Heran.
“Lucu banget ma. Kata orang-orang, Abdullah yang paling mirip dengan ayahnya. Tapi dari penjelasan mama mereka berbeda 180 derajat. Dullah khan lumayan tinggi, kulitnya putih, rambutnya agak grinyol. Beda banget khan, he..he..”
“Ooh iya” ibu melanjutkan “Ada satu yang mama lupa. Daeng Paramisi orangnya murah senyum. Mirip, sangat persis dengan Palesang. Pasti itu yang membuat orang berasumsi bahwa Palesanglah yang paling mirip dengan ayahnya.” Gumam ibuku sepertinya sangat setuju dengan pendapat itu.
“Ooh gitu ya ma.” Saya mengangguk, sadar bahwa dialah yang paling murah senyum di antara semua saudaranya. Tentu, senyumlah yang menjadi ikon kemiripan mereka.
Abdullah alias Palesang adalah sahabat baikku. Sejak kecil kami bermain bersama. Awalnya, dia agak kesal dipanggil “Palesang”. Dia pernah bilang hanya ibunya yang berhak memanggilnya dengan sebutan itu, nama itu penghormatan khusus buat ayah dan ibunya. Tapi orang tua-tua termasuk ibuku dan teman-teman sebaya kami sudah terlanjur akrab dengan nama itu. Ya, mau gimana lagi, dia pasrah saja.
Sebagai sahabat, saya tidak ikut-ikutan memanggilnya Palesang. Apalagi dia merasa diperolok dengan sebutan itu. Kadang saya memanggilnya Abdul kadang cuma Dul dan terkadang juga memanggilnya Dullah, ya tergantung sikon. Terkadang saya bingung mesti memanggil apa. Syukurlah nama manapun yang saya gunakan, kecuali Palesang, dia pasti tahu kalau saya yang memanggilnya.
“Ooi, Dul!” aku memanggilnya dan mendekat.
“Berapa skor MU lawan AC Milan semalam”. Tanyaku ingin tahu.
“MU kalah 3-1”. Jawab Abdullah dengan nada kecewa.
“Waduh gugur lagi andalanku. Oh ya, besok kuliahmu sampai jam berapa Dul?”
“Kalau besok hanya 2 mata kuliah, tapi lompat jam 8 pagi dan jam 3 sore. Emang kenapa? Tumben nanya-nanya.”
“Kebetulan jadwal kuliah kita sama. Gimana kalau kita menghadiri walimahnya teman kampusku, besok jam 10 pagi.”
“Boleh, tapi...” Bruum... tiba-tiba Icul muncul bersama motor kesayangannya yang memekakkan telinga. Dua hari lalu dia baru tiba dari Jakarta bersama ayahnya, seorang pejabat yang baru saja naik pangkat.
“Gimana kabar kalian? Tidak terasa hampir sebulan tidak ketemu.”
“Alhamdulillah, ya seperti yang kamu lihat, kami baik-baik saja.” Jawabku.
“Gimana denganmu?”
“Saya juga baik. Cuma semalam ketiban sial.”
“Pasti kalah taruhan lagi.” Ucap Abdullah sedikit kesal.
“Sok tahu. Emang kenapa?”
“Yang gituan tidak ada manfaatnya, dosa.”
“Iya iya Daeng Palesang. Sudah berapa kali kau bilang. Masalahnya, kalau tidak pake taruhan kurang menarik. Iya khan partner?” Tanya Icul padaku. Saya hanya diam.
“Icul... Icul... Sampai kapan kau tega menghamburkan uangmu hanya untuk hal sebodoh itu? Mendingan kau gunakan untuk kebaikan. Kau lihatkan berita di koran-koran bahkan di televisi. Daerah kita ini sering ada liputan orang yang kelaparan, busung lapar, rumah penduduk terbakar dan peristiwa lain yang menyesakkan. Bukankah lebih baik jika menyumbangkan uangmu buat mereka?”
“Tenang saja, itu urusan ayahku.”
“Ayahmu? Ayahmu katamu? Ayahmu yang super sibuk itu kau andalkan? Dan kau sendiri tidak peduli? Lihatlah dirimu, kau bisa berpesta pora, berhura-hura dengan teman-teman, menghamburkan uang jutaan, sementara di sekitarmu banyak yang membutuhkan. Mereka kelaparan, mereka butuh makan. Di mana hatimu? Apa kau tidak malu?”
Icul terdiam seribu bahasa.
“Sudahlah. Kalau orang sudah ketagihan sangat sulit dinasehati.” Gumamku lirih.
“Hmm. Ok, saya pergi dulu, ada sedikit urusan. Thanks yaa Palesang. Ucapanmu ada benarnya. Nanti saya pikirkan. Bye...”
“Jangan cuma pikirkan, laksanakan...” teriak Abdullah
“Iya.. iya..”
Bruum... Icul pun pergi sambil tersenyum. Dia adalah satu dari sekian teman yang gemar berjudi dan hura-hura. Sebenarnya dia orang baik, hanya pergaulan saja yang membuatnya terpengaruh. Entah kenapa Abdullah alias Palesang tidak pernah bosan mengingatkan Icul dan teman-teman yang lain. Pun banyak teman-teman berusaha menghindarinya.
Saya teringat, beberapa tetangga bercerita, Abdullah pernah dikeroyok 3 orang preman. Penyebabnya adalah kebiasaan dan keberaniannya mengingatkan orang yang berbuat maksiat, kapan dan dimanapun dia lihat –ya seperti yang terjadi pada Icul. Wajah ketiga preman itu kelihatan sangar, badannya pun kekar. Tapi setelah menghadapi Abdullah, ketiga preman itu lari ketakutan. Banyak yang heran, nyaris tidak percaya dengan kejadian itu. Semua tetangga tahu Abdullah tak pernah belajar ilmu bela diri. Badannya pun biasa saja, padahal ketiga preman tadi sudah terkenal keberingasannya. Kalau diistilahkan, ketiga preman tersebut adalah panglima perang untuk perang-perang kelompok di daerah ini. Setelah peristiwa itu, banyak penduduk makin segan pada Abdullah. Ya, seperti ayahnya.
Sebagai orang yang sangat akrab dengan Abdullah, saya tidak heran dengan kejadian tersebut. Saya pernah mendapati kejadian yang lebih aneh. Waktu itu Abdullah sedang memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi untuk mengambil buahnya yang masih muda. Saat mencapai puncaknya, Abdullah terjatuh. Nah di sinilah letak keanehannya, dia seperti melompat dari ketinggian dua puluh meter. Seolah, ada yang menahannya jatuh terpental. Abdullah sendiri heran dengan peristiwa itu. Pernah juga saya mendapati Abdullah duduk santai dirumahnya sambil baca buku. Di dekatnya, ada seorang pria berpakaian serba putih yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saat saya masuk, orang itu lenyap dari pandangan saya.
“Dul, siapa di dekatmu tadi? Dan di mana dia sekarang?”
“Ah mana ada. Dari tadi saya sendirian. Kamu menghayal kali?” Jawab Abdullah, heran.
“Tapi, tadi saya benar-benar melihat seseorang didekatmu. Ayo, kasih tahu saja siapa orang itu?” tanyaku sedikit memaksa.
“Sudah saya bilang, dari tadi saya sendirian. Emang pernah saya merahasiakan sesuatu darimu? Apakah memang saya pernah berbohong?”
Mendengar jawaban Abdullah, entah apa yang saya rasakan. Takut? ah tidak. Yang berpakaian serba putih tadi, terlihat sangat berwibawa dan bercahaya. Bahkan ada kesejukan saat melihatnya. Barangkali dialah yang selama ini menjaga Abdullah. Saya yakin Abdullah tidak menyembunyikan apapun, apalagi berbohong, mustahil. Apa mungkin Abdullah orang yang diberi karomah oleh Allah atau Waliullah? ah entahlah. Yang pasti, Abdullah adalah orang yang saleh dan jauh dari kemusyrikan. Sudah tentu ibadahnya tak ada yang menyimpang dari cara nabi SAW.
Meskipun, banyak teman-teman yang bermoral tengik berusaha menghindarinya, Abdullah tidak pernah bosan mengingatkan mereka. Tak disangka, banyak juga dari mereka yang dibuatnya sadar dan sekarang makin rajin ke masjid serta mengikuti pengajian bersama kami. Di antara mereka ada Ahmadi yang dulunya raja kupon putih, Wawan dulunya doyan mabuk-mabukan, Rimba yang mantan pecandu narkoba, dan beberapa teman lagi. Saya tidak tahu persis sudah berapa teman yang dibuatnya insyaf.
Rasanya, yang membuatku bertanya-tanya tentang sebutan “Palesang” pada diri Abdullah, terjawab sudah. Ya, orang tuanya memberi gelar “Palesang”, tentu dengan harapan anaknya bisa berguna bagi orang lain. Lewat celoteh atau nasehatnya yang bermanfaat dan penuh hikmah, dia sanggup memindahkan kebiasaan buruk seseorang menjadi kebaikan, ini sesuai dengan namanya “Abdullah Daeng Palesang”. Saya teringat kitab hadist yang saya pinjam darinya; Rasulullah SAW bersabda “Nama adalah do’a orang tua untuk anaknya”.
Sebutan “Palesang” yang melekat pada diri Abdullah sangat tepat buat sahabatku yang satu ini. Kendati, Abdullah sendiri belum menyadari.

Makassar, 12 Rabiul Awal 1429 H

Dimuat di Harian FAJAR pada Minggu, 1 Juni 2008

Postingan Terkait Lainnya :


Widget by BAMPERXII.Co.cc

Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.

Kata Mereka

Ketua DPD PERTUNI SULSEL Hamzah M.Yamin
Dengan adanya website ini, memberikan warna tersendiri mengenai penyandang cacat, terkhusus tunanetra, media website menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang sangat bagus dengan jangkauan internasional,sehingga upaya mempublikasikan sahabat tunanetra dapat terjangkau secara menyeluruh. Aksi yang dilakukan BAMPER XII sebagai organisasi volunter / mitra PERTUNI sangat membantu kinerja DPD PERTUNI SULSEL dan penyandang tunanetra khususnya, teruslah memberikan satu kebaikan kepada mereka yang membutuhkan