Tunanetra menulis, sering kali kami lihat dan dengar mereka mengutak-atik mesin tik atau keyboard komputer untuk menulis beberapa kata mengenai hal-hal yang mereka alami, dan yang mereka dengar.Tulisannya sangat polos, tetapi menyentuh relung jiwa kami, akan tetapi sangat disayangkan tulisan itu menjadi kusam, dan tak berarti apa-apa karena hanya menjadi tumpukan berkas berkata yang tak pernah di sajikan kepada para pembacanya, seakan malu dan ragu menggerogoti hasrat mereka tuk menyodorkannya kepada khalayak untuk juga menyantap kenikmatan kata karya mereka.
BAMPER XII melalui saudara Ahmad Maulana Agung menyelenggarakan pelatihan jurnalistik tuk mencoba mengasah bakat kata sehingga tersaji kata-kata bermakna dan tertata kepada para pembaca.
Tanggal 24-25 Januari 2009, bertempat di Aula YAPTI Makassar menjadi tempat dalam menimba dan menata kata-kata itu, dalam nuansa yang amat sederhana dan bersahaja.
Para penyaji (pemateri) diantaranya Kak Dr.Saharuddin Daming, SH.,MH dengan menu materi Kenali Opini, Kak Aan Mansyur (Penulis Muda Berbakat)dengan menu materi kenali Puisi, Kak Ichsan (Script Writer Radio Telstar)dengan menu materi kenali Cerpen, dan Kak Irwan Ar (LAPMI Makassar)kenali Feature.Pelatihan Jurnalistik tersebut bertujuan untuk:
1. Memberi pengetahuan dasar dunia jurnalistik
2. Kenali Jenis-jenis Karya sastra
3. Mendorong minat dan bakat peserta dalam hal jurnalistik.
Hasil kegiatan:
Diharapkan mereka lebih termotifasi dalam menyalurkan potensi mereka dalam hal jurnalistik dan mensosialisikan diri mereka kepada melalui karyanya.
sehingga terwujudnya harapan bahwa Tunanetra Bisa dalam hal Jurnalistik.
Karena aku mengenal tulisan untuk "KENALI AKU LEWAT TULISAN".
Selanjutnya......
SELAMAT BERKUNJUNG,BERGABUNG MENJALIN IKATAN KEMITRAAN
Jalinan Kemitraan digalang oleh rasa simpati yang menggerakkan diri tuk berbuat "satu" namun memberi "seribu satu" makna,bagi eksistensi organisasi dan menciptakan karsa bagi mereka [Tunanetra]menghilangkan sikap stereotype,diskriminatif dan antipati sehingga mereka dapat eksis dalam kehidupan menuju penyetaraan [Berbuat Untuk Tunanetra,Berbuat Untuk Semua] Bagi sahabat yang ingin berbagi dan mendukung Program Kami,Kampanyekan Blog ini dengan mengcopy Banner Komunitas Peduli Tunanetra.Klik DisiniBuat Para Sahabat Pengunjung ,Blogger,Anggota KAPTEN MITRA,dan Anggota BAMPER XII,kami tunggu masukan dan sarannya yah, demi membangun organisasi kami dan terkhusus kepada para penyandang cacat khususnya Tunanetra.
Kami merekomendasikan Anda untuk mempergunakan Mozilla FireFox Web Development & Hosting
Senin, Januari 26, 2009
Pelatihan Jurnalistik Tunanetra
Senin, Januari 05, 2009
Nonton Bareng Film Kecacatan di Malam Tahun Baru
Perayaan malam menjelang tahun baru dimana-mana dipadati dengan hiruk pikuk kegiatan masing-masing, terlebih area rekreasi telah dibanjiri oleh pengunjung. Gimana dengan sahabat tunanetra, apa saja yang mereka lakukan dalam melepas malam tahun baru 2008 tersebut. Tentu mereka pun memiliki harapan baru di tahun 2009, oleh karena itu demi terjalinnya ikatan solidaritas dan kecintaan terhadap penyandang cacat, maka BAMPER XII menggelar kegiatan dadakan, yakni Pemutaran Film tentang Penyandang Cacat.
Masing-masing dil yang telah diputer adalah Helen Keler , Im Sam dan Finfing Nemo. Film tersebut telah diputar oleh lembaga sosial internasional yaitu Helen Keller Indonesia pada kegiatan serupa bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa PLB UNM Makassar, di Kantor HKI Sulsel, dan kini digelar kembali di Asrama YAPTI Makassar.Sebagai Volunteer dari organisasi kecacatan khususnya tunanetra, diharapkan memilki kepekaan dan pemahaman mendalam mengenai penyandang cacat tersebut, dengan begitu tontonan tersebut diharapkan menjadi stimulan bagi volunteer yang lebih dikenal dengan sebutan Mitra di organisasi BAMPER XII.
Malam lepas tahun 2008 tersebut dihadiri pula oleh Koordinator HKI Sulsel, Ibu Widyawati. Sembari menonton film para sahabat tunanetra dan mitranya menyantap hidangan Jagung Bakar dan Sarabba (minum hangat jahe + gula aren)
Selanjutnya......
Minggu, Januari 04, 2009
AGAMA, BUDAYA DAN ETIKA SEBAGAI PILAR SASTRA DAN SENI
Seperti minggu-minggu sebelumnya, saya tak melewatkan membaca habis halaman budaya harian FAJAR. Selain karena berkecimpung di bidang sastra dan aktivitas sosial, saya juga ingin tahu siapa dan bagaimana isi tulisan teman-teman penulis muda yang dimuat hari itu, Minggu 14 Desember 2008.Seperti dugaanku, salah seorang sahabat saya, Irwan, artikelnya dalam kolom apresiasi dimuat hari itu. Namun saya tidak langsung membaca tulisan tersebut. Masih sama seperti biasa, membaca puisi terlebih dahulu yang waktu itu memuat 3 karya Dg. Mangeppek yakni Elegi Dalam Hati 1 dan 2 serta Wajah Tuhan yang mana isinya mengandung pesan agama atau reliji namun tetap ada kaitannya dengan budaya.
Kemudian saya beralih membaca tulisan Ayahanda Nur Alim Djalil (beliau sudah seperti guru buat saya) pada kolom percik dengan judul Komit dimana isinya mengandung pesan etika namun tetap ada nuansa agama. Dan tentu saja saya juga membaca cerpen karya Arwan Alimin yang berjudul Polisi Kampung itu dimana temanya tentang kepahlawanan yang kebetulan masih dalam suasana mengenang kembali peristiwa keganasan Westerling di Sul-Sel. Dalam cerpen tersebut ada pesan budaya dan etika yang tersirat. Kesimpulan saya, ketiga karya sastra tersebut yakni cerpen, essay dan puisi selalu dibingkai oleh 3 aspek kehidupan. Ketiga aspek tersebut adalah agama, budaya dan etika. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa agama, budaya, dan etika adalah pilar sastra yang juga bagian dari seni.
Membaca artikel Irwan pada kolom apresiasi, saya cukup tertarik dengan judulnya “Melawan Hegemoni dengan Film”. Tulisannya cukup bagus dan menambah pengetahuan saya tentang seni terutama di bidang perfilman. Tapi, pada 2 paragraf terakhir tulisan tersebut, ada sesuatu yang ganjil menurut saya. Selain belum menemukan secara pasti hegemoni apa yang menjadi objek perlawanan, ada kesan bahwa objek yang dimaksud adalah agama, budaya dan etika. Dengan kata lain salah satu, salah dua atau mungkin ketiganya bisa jadi penghambat dan memperkaku kreatifitas.
Ketika keganjilan ini saya utarakan melalui sms, sahabat saya ini menjawab dengan bijak, juga lewat sms “sepertix perdebatan akn panjang klo kita bhs itu nursam. krn mungkn kita beranjak dari akar yg beda”. Demikian bunyi smsnya, dan karena aktivitas dan kesibukan masing-masing, cukup sulit bagi kami untuk bisa bertemu dan membahas hal tersebut. Namun demikian, menurut hemat saya, interpretasi nilai rasa suatu karya sastra sangat bergantung kepada pembacanya dan atau penikmatnya. Olehnya itu tak ada salahnya melalui tulisan ini saya mengeluarkan sedikit unek-unek yang ada di kepala saya, terlepas dari salah benarnya pandangan saya tentang hegemoni yang tertuang dalam artikel tersebut.
Ketika ada kesan bahwa agama, budaya dan etika bisa menghambat kreatifitas seni dan kebebasan berekspresi, rasanya hal ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai sastra yang juga adalah begian dari seni. Sastra, yang sangat identik dengan dunia penulisan tentu akan tetap berpegang pada ketiga atau minimal salah satu dari ketiga aspek kehidupan tadi.
Memang dunia perfilman yang identik dengan tekhnologi dan kebebasan berekspresi cukup hebat dan bahkan sangat hebat menjadi wadah transformasi nilai-nilai budaya dan etika. Tapi apakah transformasi itu selalu berdampak positif? Rasanya tidak. Salah satu dampaknya seperti yang diutarakan oleh ibu Herlina (kontestan guru favorit) di halaman 22 harian FAJAR edisi selasa 9 Desember 2008. ibu Herlina berpendapat “Jauh sekali bedanya anak-anak dulu dengan yang sekarang. Kalau dulu guru benar-benar dihormati. Saya benar-benar merindukan hal seperti itu”. Beliau juga menambahkan etika pelajar saat ini banyak dipengaruhi oleh dampak globalisasi dan pergaulan di lingkungan sekitar. Namun nilai positifnya, perkembangan tekhnologi di masa kini semakin memudahkan metode belajar mengajar.
Seorang seniman dan atau sastrawan sejati adalah mereka yang tetap berpegang teguh pada ketiga aspek kehidupan tadi yakni agama, budaya dan etika. Saya tak dapat membayangkan betapa rusaknya tatanan kehidupan kita jika ketiga aspek tersebut dinafikan demi terwujudnya ketidakkakuan. Tegakah kita sebagai penulis, sastrawan ataupun seniman membiarkan, mendukung atau bahkan menyebarluaskan lewat media seni ataupun tulisan tentang fenomena homo, lesbian, ataupun sex bebas yang lambat laun dianggap hal yang lumrah di tengah masyarakat dan bahkan merusak tatanan sosial yang telah dibangun oleh ketiga aspek tadi? Dalam konteks ini, budayawan Taufik Ismail sudah menjewer kesadaran kita tentang eksistensi komplotan Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) yang salah satu banditnya adalah sastrawan dan atau seniman.
Sungguh ironi jika tulisan-tulisan yang bergenre remaja namun masih menggunakan nilai-nilai agama, budaya dan etika dianggap ketuaan dan ketinggalan jaman. Bukankah remaja harus dibimbing dengan ketiga aspek tadi? Hingga nantinya mereka mampu mensharing mana yang mesti dicontoh dan mana yang harus dibuang.
Alhasil, bagaimanapun agama, budaya, dan etika harus menjadi landasan utama dalam menghadapi problematika kehidupan. Ketiganya adalah simbol keutuhan umat, bangsa dan dunia pada umumnya. Ketiganya tidak mengekang (bukan hegemoni) tapi menjaga dan memperbaiki tatanan masyarakat yang telah dan akan rusak. Ketiganya memperkokoh eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Makhluk yang berbeda dengan binatang.
Dimuat di Harian FAJAR Pada Minggu, 28 Desember 2008
Selanjutnya......
DAENG PALESANG
Nama aslinya Abdullah, entah kenapa orang tuanya memberi gelar “Daeng Palesang”. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berarti tukang pemindah atau tukang pindah-pindah atau orang yang senang memindahkan sesuatu dan atau berpindah-pindah. Mungkin, semasa kecil dia suka memindahkan perabot rumahnya, atau dia sering berpindah tempat saat makan, atau mungkin juga gelar itu warisan dari almarhum ayahnya yang juga bergelar “Daeng Paramisi” yang berarti tukang permisi atau orang yang senang minta izin. Ah, entahlah, yang jelas kata orang tua-tua di kampungku, senyum Abdullah sangat mirip dengan senyum ayahnya, walaupun warna kulit Abdullah lebih cerah dibanding kulit ayahnya yang hitam pekat. Itu masih kata orang tua-tua.
Sebenarnya saya belum tahu bagaimana ciri-ciri ayah Abdullah. Kata ibuku saat beliau meninggal kami masih balita. Kebetulan tahun kelahiranku sama dengan Abdullah. Kembali ke pendapat orang tua-tua, mereka semua setuju bahwa Abdullah yang paling mirip dengan ayahnya ketimbang saudaranya yang lain. Suatu waktu saya bertanya pada ibu.
“ma, apa mama ingat ciri-ciri ayah Dul?”
“maksudmu Daeng Paramisi ayahnya Palesang?”
“ya iyalah ma, siapa lagi yang saya panggil Dul selain dia.”
“ooh, Daeng Paramisi itu orangnya baik, sopan, dihormati dan disegani banyak orang terutama penduduk di kampung ini. Kalau tentang rupanya, kulitnya gelap, agak pendek tapi tidak cebol, rambutnya lurus. Ya cuma itu yang mama ingat.”
Aku tersenyum dan sedikit tertawa.
“Lho, kenapa, ada yang lucu?” Ibu menatapku. Heran.
“Lucu banget ma. Kata orang-orang, Abdullah yang paling mirip dengan ayahnya. Tapi dari penjelasan mama mereka berbeda 180 derajat. Dullah khan lumayan tinggi, kulitnya putih, rambutnya agak grinyol. Beda banget khan, he..he..”
“Ooh iya” ibu melanjutkan “Ada satu yang mama lupa. Daeng Paramisi orangnya murah senyum. Mirip, sangat persis dengan Palesang. Pasti itu yang membuat orang berasumsi bahwa Palesanglah yang paling mirip dengan ayahnya.” Gumam ibuku sepertinya sangat setuju dengan pendapat itu.
“Ooh gitu ya ma.” Saya mengangguk, sadar bahwa dialah yang paling murah senyum di antara semua saudaranya. Tentu, senyumlah yang menjadi ikon kemiripan mereka.
Abdullah alias Palesang adalah sahabat baikku. Sejak kecil kami bermain bersama. Awalnya, dia agak kesal dipanggil “Palesang”. Dia pernah bilang hanya ibunya yang berhak memanggilnya dengan sebutan itu, nama itu penghormatan khusus buat ayah dan ibunya. Tapi orang tua-tua termasuk ibuku dan teman-teman sebaya kami sudah terlanjur akrab dengan nama itu. Ya, mau gimana lagi, dia pasrah saja.
Sebagai sahabat, saya tidak ikut-ikutan memanggilnya Palesang. Apalagi dia merasa diperolok dengan sebutan itu. Kadang saya memanggilnya Abdul kadang cuma Dul dan terkadang juga memanggilnya Dullah, ya tergantung sikon. Terkadang saya bingung mesti memanggil apa. Syukurlah nama manapun yang saya gunakan, kecuali Palesang, dia pasti tahu kalau saya yang memanggilnya.
“Ooi, Dul!” aku memanggilnya dan mendekat.
“Berapa skor MU lawan AC Milan semalam”. Tanyaku ingin tahu.
“MU kalah 3-1”. Jawab Abdullah dengan nada kecewa.
“Waduh gugur lagi andalanku. Oh ya, besok kuliahmu sampai jam berapa Dul?”
“Kalau besok hanya 2 mata kuliah, tapi lompat jam 8 pagi dan jam 3 sore. Emang kenapa? Tumben nanya-nanya.”
“Kebetulan jadwal kuliah kita sama. Gimana kalau kita menghadiri walimahnya teman kampusku, besok jam 10 pagi.”
“Boleh, tapi...” Bruum... tiba-tiba Icul muncul bersama motor kesayangannya yang memekakkan telinga. Dua hari lalu dia baru tiba dari Jakarta bersama ayahnya, seorang pejabat yang baru saja naik pangkat.
“Gimana kabar kalian? Tidak terasa hampir sebulan tidak ketemu.”
“Alhamdulillah, ya seperti yang kamu lihat, kami baik-baik saja.” Jawabku.
“Gimana denganmu?”
“Saya juga baik. Cuma semalam ketiban sial.”
“Pasti kalah taruhan lagi.” Ucap Abdullah sedikit kesal.
“Sok tahu. Emang kenapa?”
“Yang gituan tidak ada manfaatnya, dosa.”
“Iya iya Daeng Palesang. Sudah berapa kali kau bilang. Masalahnya, kalau tidak pake taruhan kurang menarik. Iya khan partner?” Tanya Icul padaku. Saya hanya diam.
“Icul... Icul... Sampai kapan kau tega menghamburkan uangmu hanya untuk hal sebodoh itu? Mendingan kau gunakan untuk kebaikan. Kau lihatkan berita di koran-koran bahkan di televisi. Daerah kita ini sering ada liputan orang yang kelaparan, busung lapar, rumah penduduk terbakar dan peristiwa lain yang menyesakkan. Bukankah lebih baik jika menyumbangkan uangmu buat mereka?”
“Tenang saja, itu urusan ayahku.”
“Ayahmu? Ayahmu katamu? Ayahmu yang super sibuk itu kau andalkan? Dan kau sendiri tidak peduli? Lihatlah dirimu, kau bisa berpesta pora, berhura-hura dengan teman-teman, menghamburkan uang jutaan, sementara di sekitarmu banyak yang membutuhkan. Mereka kelaparan, mereka butuh makan. Di mana hatimu? Apa kau tidak malu?”
Icul terdiam seribu bahasa.
“Sudahlah. Kalau orang sudah ketagihan sangat sulit dinasehati.” Gumamku lirih.
“Hmm. Ok, saya pergi dulu, ada sedikit urusan. Thanks yaa Palesang. Ucapanmu ada benarnya. Nanti saya pikirkan. Bye...”
“Jangan cuma pikirkan, laksanakan...” teriak Abdullah
“Iya.. iya..”
Bruum... Icul pun pergi sambil tersenyum. Dia adalah satu dari sekian teman yang gemar berjudi dan hura-hura. Sebenarnya dia orang baik, hanya pergaulan saja yang membuatnya terpengaruh. Entah kenapa Abdullah alias Palesang tidak pernah bosan mengingatkan Icul dan teman-teman yang lain. Pun banyak teman-teman berusaha menghindarinya.
Saya teringat, beberapa tetangga bercerita, Abdullah pernah dikeroyok 3 orang preman. Penyebabnya adalah kebiasaan dan keberaniannya mengingatkan orang yang berbuat maksiat, kapan dan dimanapun dia lihat –ya seperti yang terjadi pada Icul. Wajah ketiga preman itu kelihatan sangar, badannya pun kekar. Tapi setelah menghadapi Abdullah, ketiga preman itu lari ketakutan. Banyak yang heran, nyaris tidak percaya dengan kejadian itu. Semua tetangga tahu Abdullah tak pernah belajar ilmu bela diri. Badannya pun biasa saja, padahal ketiga preman tadi sudah terkenal keberingasannya. Kalau diistilahkan, ketiga preman tersebut adalah panglima perang untuk perang-perang kelompok di daerah ini. Setelah peristiwa itu, banyak penduduk makin segan pada Abdullah. Ya, seperti ayahnya.
Sebagai orang yang sangat akrab dengan Abdullah, saya tidak heran dengan kejadian tersebut. Saya pernah mendapati kejadian yang lebih aneh. Waktu itu Abdullah sedang memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi untuk mengambil buahnya yang masih muda. Saat mencapai puncaknya, Abdullah terjatuh. Nah di sinilah letak keanehannya, dia seperti melompat dari ketinggian dua puluh meter. Seolah, ada yang menahannya jatuh terpental. Abdullah sendiri heran dengan peristiwa itu. Pernah juga saya mendapati Abdullah duduk santai dirumahnya sambil baca buku. Di dekatnya, ada seorang pria berpakaian serba putih yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saat saya masuk, orang itu lenyap dari pandangan saya.
“Dul, siapa di dekatmu tadi? Dan di mana dia sekarang?”
“Ah mana ada. Dari tadi saya sendirian. Kamu menghayal kali?” Jawab Abdullah, heran.
“Tapi, tadi saya benar-benar melihat seseorang didekatmu. Ayo, kasih tahu saja siapa orang itu?” tanyaku sedikit memaksa.
“Sudah saya bilang, dari tadi saya sendirian. Emang pernah saya merahasiakan sesuatu darimu? Apakah memang saya pernah berbohong?”
Mendengar jawaban Abdullah, entah apa yang saya rasakan. Takut? ah tidak. Yang berpakaian serba putih tadi, terlihat sangat berwibawa dan bercahaya. Bahkan ada kesejukan saat melihatnya. Barangkali dialah yang selama ini menjaga Abdullah. Saya yakin Abdullah tidak menyembunyikan apapun, apalagi berbohong, mustahil. Apa mungkin Abdullah orang yang diberi karomah oleh Allah atau Waliullah? ah entahlah. Yang pasti, Abdullah adalah orang yang saleh dan jauh dari kemusyrikan. Sudah tentu ibadahnya tak ada yang menyimpang dari cara nabi SAW.
Meskipun, banyak teman-teman yang bermoral tengik berusaha menghindarinya, Abdullah tidak pernah bosan mengingatkan mereka. Tak disangka, banyak juga dari mereka yang dibuatnya sadar dan sekarang makin rajin ke masjid serta mengikuti pengajian bersama kami. Di antara mereka ada Ahmadi yang dulunya raja kupon putih, Wawan dulunya doyan mabuk-mabukan, Rimba yang mantan pecandu narkoba, dan beberapa teman lagi. Saya tidak tahu persis sudah berapa teman yang dibuatnya insyaf.
Rasanya, yang membuatku bertanya-tanya tentang sebutan “Palesang” pada diri Abdullah, terjawab sudah. Ya, orang tuanya memberi gelar “Palesang”, tentu dengan harapan anaknya bisa berguna bagi orang lain. Lewat celoteh atau nasehatnya yang bermanfaat dan penuh hikmah, dia sanggup memindahkan kebiasaan buruk seseorang menjadi kebaikan, ini sesuai dengan namanya “Abdullah Daeng Palesang”. Saya teringat kitab hadist yang saya pinjam darinya; Rasulullah SAW bersabda “Nama adalah do’a orang tua untuk anaknya”.
Sebutan “Palesang” yang melekat pada diri Abdullah sangat tepat buat sahabatku yang satu ini. Kendati, Abdullah sendiri belum menyadari.
Makassar, 12 Rabiul Awal 1429 H
Dimuat di Harian FAJAR pada Minggu, 1 Juni 2008
Selanjutnya......
Kata Mereka
Ketua DPD PERTUNI SULSEL
Hamzah M.Yamin
Dengan adanya website ini, memberikan warna tersendiri mengenai penyandang cacat, terkhusus tunanetra, media website menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang sangat bagus dengan jangkauan internasional,sehingga upaya mempublikasikan sahabat tunanetra dapat terjangkau secara menyeluruh. Aksi yang dilakukan BAMPER XII sebagai organisasi volunter / mitra PERTUNI sangat membantu kinerja DPD PERTUNI SULSEL dan penyandang tunanetra khususnya, teruslah memberikan satu kebaikan kepada mereka yang membutuhkan |